Jihad Damai Era Modern Sebagai Konsep bagi Kemajuan Pendidikan Indonesia Perspektif Hasan Al-Banna

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kini, konsep jihad hadir dengan pemaknaan negatif. Jihad yang yang sejatinya bermakna "bersungguh-sungguh dalam segala hal", kini mengalami penyempitan makna menjadi "keharusan dalam menegakkan kalimat Allah (syari'at Islam) di muka bumi". Dan yang memperparah lagi adalah keharusan mengangkat senjata untuk memerangi kelompok lain sampai mereka menerima syari'at Islam sebagai undang-undang negara.[1]
Pemaknaan jihad sering diartikan sebagai aksi radikal anarkis atau terorisme. Seperti yang dikatakan oleh M. Quraish Shihab, hal itu terjadi karena orang-orang yang melakukan aksi tersebut memaknai konsep jihad dengan seenaknya. Mereka telah melakukan kekeliruan dalam menafsirkan doktrin agama (the preversion of religious interpretation).[2]
Islam yang sejatinya adalah sebagai agama pembawa rahmat (rahmatan lil 'alamin), kini sudah dipertanyakan oleh berbagai pihak, karena realitas Islam yang sekarang malah menunjukkan bahwa umatnya adalah terbelakang, miskin, dan lemah dalam segala hal.[3]
Seiring berjalannya waktu, konstketualisasi terhadap makna Al-Qur'an dan Hadits telah banyak dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari perubahan suasana geopolitik, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain yang tidak sama dengan zaman diturunkannya dalil-dalil tersebut. Maka, banyak para ulama dan sarjana yang melakukan kostektualisasi terhadap doktrin-doktrin agama.[4]

B.       Rumusan Masalah
1.        Bagaimana pemaknaan jihad masa lalu?
2.        Bagaimana konsep jihad yang sesuai dengan era modern?
3.        Bagaimana caranya untuk memajukan pendidikan Indonesia dengan konsep jihad?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kekeliruan Makna Jihad
Telah banyak aksi radikal anarkis yang terjadi yang mengatas namakan agama Islam. Pelaku tidakan itu membenarkan semua tindakannya dengan doktrin yang mereka pegang. Seperti tindakan teroris yang telah marak terjadi, baik di dunia maupun yang telah menyebar ke Indonesia.
Hal itu terjadi karena mereka telah keliru dalam memahami dalil-dalil agama yang berkaitan dengan jihad. Mereka mengambil pendapat dari para ahli fiqh yang juga melakukan kekeliruan terhadap pemaknaan jihad itu sendiri. Banyak dari pendapat para ahli fiqh (fuqaha) memahami jihad sebagai qital. Mereka adalah orang-orang yang harus bertanggung jawab pertama kali atas kerancuan hal tersebut. Kekeliruan mereka telah berlangsung lama, sejak zaman pasca Rasul, para sahabat, dan sampai sekarang.
Faktor-faktor yang menyebabkan kekeliruan tersebut adalah:
1.        Keliru dalam mengartikan jihad. Jihad yang sebenarnya memiliki makna luas, digunkaan dalam arti yang sempit, yaitu perang (qital, harb)
2.        Dalam mengartikan ayat-ayat tentang jihad, mereka tidak memperhatikan hubungan ayat itu dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
3.        Berdasarkan penegrtian yang keliru tersebut, para ulam fiqh berkhayal membagi dunia pada tiga macam, yaitu: Dar al-Harb, Dar al-Islam, dan Dar al-Shulk.
4.        Kepercayaa mereka terhadap akan turunnya Al-masih dan Imam Mahdi pada akhir zaman dan menyiarkan Islam ke seluruh dunia, dan barang siapa yang tidak mau masuk Islam akan dipenggal lehernya dengan pedang. Padahla anggpan tersebut bertentangn denga ajaran Al-qur'an baha tak ada paksaan dalam beragama,
5.        Kesalahpahaman tentang hukum membunuh orang yang murtad, seperti kasus kabilah 'Uqul. Padahal kabilah tersebut dibunuh bukan karena kemurtadannya, akan tetapi karena permusuhannya terhadap kaum muslim.[5]

Namun, para ulama fuqaha tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Mereka juga memiliki landasan apologi, karena pada kenyataannya hadits-hadits jihad juga berfokus pada qital. Contohnya saja seperti hadits:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Saya mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman tangan Kekuasaan-Nya, jika tidak ada sosok-sosok lelaki di antara kaum mukmin yang tidak senang diri untuk ketingglan (berperang) denganku dan tidak aku temukan sesuatu yang bisa aku pikulkan atas mereka, nisacaya tidak akan kutinggalkan satu brigade pun demi berperang di jalan Allah. Dan demi Zat yang diriku berada dalam genggaman tangan Kekuasaan-Nya, sungguh aku mendambakan mati di jalan Allah, lalu hidup, kemudian mati, lalu hidup, lantas mati lagi. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dari contoh hadits tersebut, maka tidaklah heran bahwa fokus hadits tentang jihad bertumpu pada pemaknaan jihad sebagai qital dan harb.[6]
Jihad yang bermakna sebagai perang (qital, harb) hanyalah satu bagian dari luasnya jihad. Jihad ini dinamakan dengan jihad ashgar (jihad kecil). Tujuanya adalah untuk pembelaan diri dan proteksi terhadap kaum tertindas karena agama, bukan untuk menyiarkan Islam. Jika tiga syarat tersebut ditinggalkan, maka lahirlah yang namanya "mujahidin brutal" yang justru bertentangan dengan syariat Islam. Maka, jika persyaratan yang telah ditetapkan tersebut tak bisa dipenuhi, jihad ashgar atau perang tak bisa dilakukan.
Sejatinya, jihad memiliki arti yang sangat luas. Kata jihad berasal dari akar kata bahasa Arab jahada, yajhudu, jahd atau juhd yang artinya sungguh-sungguh atau berusaha keras. Sedangkan kata jahd atau juhd artinya tenaga, usaha, atau kekuatan. Inilah yang dianamakan dengan jihad akbar (jihad besar). Dan jihad yang diperintahkan oleh Al-Qur'an adalah berusaha keras untuk menegakkan kebenaran dan untuk mencapai tujuan suci yang diridhai Ilahi.[7]
Kekeliruan yang juga sering terjadi adalah dalam pemaknaan fi sabilillah. Hal ini disebabkan karena kata fi sabilillah adalah kata yang kebanyakan mengiringi kata jihad. Fi sabilillah secara harfiah berarti di jalan Allah. Walaupun demikian, pengertiannya tidak hanya terbatas pada jalan Allah. Fi sabilillah juga memiliki pengertian yang luas.
Fi sabilillah secara umum diartikan sebagai setiap usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan kalimat Allah (Islam) dengan cara-cara yang telah digariskan oleh Allah dan bertujuan hanya untuk mencapai keridhaan Allah, tanpa diikuti dengan keinginan untuk mendapatkan materi keduniawian.[8]

B.       Konstektualisasi Makna Jihad Era Modern
Pemakanaan keliru terhadap doktrin tentang jihad tersebut harus dikonstektualisasikan dengan zaman sekarang yang bukan lagi sebagai zaman perang dan ekspansi agama. Ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits tersebut harus dilakukan pemaknaan baru. Hal ini sudah dilakukan oleh ulama-ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abu Zahrah dan Syekh 'Abd al-Wahhab Khalaf. Mereka menyatakan bahwa Islam lebih mengutamakan kedamaian daripada perang. Dan qital juga tidak dipandang sebagai sarana penyebaran agama, melainkan hanya media terakhir untuk mempertahanan diri dan melindungi akidah jika terancam. Pendapat yang serupa juga diutarakan oleh ulama kontemporer lainnya, seperti Hasan Albanna dan Sayyid Qutb.[9]
Perang hanyalah salah satu intrepretasi dari konsep jihad. Makna dasarnya adalah usaha yang tidak pernah berhenti. Jihad bisa berupa perjuangan batin (untuk melawan kejahatan dalam diri sendiri) atau perjuangan lahiriah. Sebuah hadits mendefinisikan pemahaman tentang istilah seperti ini, yaitu:
Ketika Rasulullah pulang dari perang Badar, beliau bersabda: "Kita baru saja kembali dari jihad kecil (jihad al-ashgar) dan kita menuju jihad besar (jihad al-akbar)." Ketika beliau ditanya "Apakah jihad besar itu?" Rasul menjawab: "Yaitu jihad melawan diri sendiri (jihad al-nafs).
Setelah perang Badar dan ketika Rasulullah menyabdakan hadits tersebut, sesungguhnya umat muslim akan menyambut bulan Ramadhan. Itu berarti, jihad yang dimaksud disini adalah jihad melawan diri sendiri dari segala hawa nafsu yang dapat menyebabkan batalnya puasa.[10]
Kaum modernis melihat konsep jihad adalah sebagai doktrin utama sebagai perjuangan meliputi semua tindakan politik dan sosial dalam rangka untuk menegakkan keadilan. Fazlur Rahman, menyatakan bahwa jihad hadir dalam rangka melaksanakan agenda sosial dan politik Islam, karena tidak ada keraguan lagi bahwa Al-Qur'an mengisyaratkan agar Muslim untuk menciptakan tatanan moral-sosial yang adil.
Presiden Tunisia, Habib Borguiba menjelaskan bahwa spirit jihad adalah untuk berjuang dalam pertumbuhan ekonomi di Tunisia, seperti perkataan Lyndon Johnson "perang melawan kemiskinan".[11]
Konteks aplikasi jihad kontemporer bukanlah pada area konflik peradaban (the class of civilization), akan tetapi bagaimana menjadikan jihad sebagai sebuah pergerakan saintifik dan sosio-antropologis dalam rangka membangun peradaban Islam yang berbasis pada nilai kemaslahatan kemanusiaan. Hal itu yang akan melahirkan harmonisasi dalam peradaban bangsa-bangsa di dunia.[12]
Jadi, pemaknaan jihad era modern kembali kepada artinya yang luas, artinya yang sebenarnya yaitu "bersungguh-sungguh dalam segala hal". Jihad yang merupakan bazl al-juhd (curahan kekuatan) yang tidak membatasi curahan tersebut pada satu bidang, namun yang menjadi titik tekan dan fokusnya adalah menjadikan jihad sebagai startegi, metodologi, gaya pendekatan (uslub), dan dalam hal berperilaku (suluk).[13] Dan hal itu bisa direalisasikan dalam rangka kebangkitan dan kemajuan bangsa Indonesia, baik itu dalam ranah politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan juga pribadi masing-masing warga negara Indonesia.
Oleh karena itu, seperti yang dikatakan oleh Jamal Albanna "Jihad masa kini bukanlah bagaimana kita mati di jalan Allah, melainkan bagaiamana kita hidup di jalan Allah."

C.        Pendidikan Jihad Perpektif Hasan al-Banna
Di antara aspek pendidikan al-Ikhwan al-Muslimin yang menonjol adalah pendidikan jihad bukan pendidikan militer. Karena pengertian jihad jauh lebih luas dari pengertian militer. Kemiliteran adalah disiplin dan latihan, tetapi jihad adalah iman, akhlak, jiwa, dan pengorbanan.[14]
Adanya aspek jihad sebagai materi pendidikan Hasan al-Banna menurut Usman Abd. al-Mu'iz adalah untuk menumbuhkan jiwa patriotisme di dalam jiwa peserta didik.
Program pendidikan Hasan al-Banna tidak terbatas untuk anak-anak usia sekolah yang dapat dilihat di Madrasah at-Tahdzib yang kemudian menjadi sentral pendidikan al-Ikhwan al-Muslimin, dan juga Madrasah Ummahat al-Mukminin yang merupakan lembaga pendidikan khusus bagi kaum wanita.
Ia juga membuka sekolah malam hari yang diperuntukkan untuk anak putus sekolah yang terdiri dari para petani dan buurh bangunan, terutam untuk mengajari mereka baca tulis dan membuka kursus keterampilan sesuai dengan bakatnya.
Hasan al-Banna mengusulkan sistem pendidikan yang berintegarsi karakter religius dan nilai moral dengan pengetahuan ilmiah (sains) dan menggabungkannya dalam materi pendidikan secara seimbang dan konsisten.
Metode pendidikan rumusan Hasan al-Banna adalah:
1.        Momentum yang tepat.
2.        Redaksi atau ucapan yang memukau,
3.        Kondisi kejiwaan peserta didik.
4.        Kadar kemampuan menyerap.
5.        Kemampuan dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
6.        Pendidik memiliki kompetensi aflikatif terutama sekali untuk menggugah perasaan peserta didik atau yang berarti keteladanan.
7.        Bersifat komprehensif, yaitu satu sama lain saling mengisi.
8.        Mampu mendidik manusia untuk layak berintegrasi bagi kehidupan dunia akhirat
9.        Mengakui adanya kekuatan dalam diri manusia, ruh, akal, jasmani, dan bekerja demi memenuhi kebutuhannya.
10.    Siap untuk diterapkan, artinya tidak terlalu idealis dan mungkin diikuti dan diterapkan oleh manusia.
11.    Metode praktek, bukan hanya sekadar teoritis.
12.    Bersifat kontinu, sesuai bagi seluruh manusia.
13.    Menguasai seluruh perkembangan dalam kehidupan manusia, mencapai batasan yang mampu diakses oleh manusia dengan kekuatan yang dimiliknya.[15]


BAB III
KESIMPULAN

Kini, konsep jihad hadir dengan pemaknaan negatif. Jihad yang yang sejatinya bermakna "bersungguh-sungguh dalam segala hal", kini mengalami penyempitan makna menjadi "keharusan dalam menegakkan kalimat Allah (syari'at Islam) di muka bumi". Dan yang lebih memperparah lagi adalah keharusan tersebut dimaknai dengan keharusan mengangkat senjata untuk memerangi kelompok lain sampai mereka menerima syari'at Islam sebagai undang-undang suatu negara.
Terjadinya tindakan radikal anarkis disebabkan oleh kesalahpahaman atau kekliruan dalam menafsirkan doktrin agama. Jihad dengan gaya radikal anarkis atau yang disalahpahami sebagai perang (qital, harb) tidak cocok dengan realitas dunia yang sudah di era modern dan tak ada lagi penjajahan. Jadi, jihad lebih tepatnya diartikan di era modern ini adalah jihad damai.
Dengan menerapkan konsep jihad damai dan bersungguh-sungguh dalam setiap perbuatan dan hal berperilaku sehari-hari (suluk), maka akan membuahkan keberhasilan dalam berbagai aspek dan bidang. Baik itu dalam bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, politik pemerintahan, dll. Jika jihad damai dilakukan oleh semua lapisan masyarakat dan Pemerintahan Indonesia, maka tidak mustahil Indonesia akan menjadi negara maju yang sebelumnya hanya berstatus negara berkembang.



DAFTAR PUSTAKA

Abshar, Ulil dan Abdalla. 2009. "Terorisme dan Soal Ketidakadilan, Catatan untuk Magda Safrina" Dalam Humaniush (November. II).
Albana, Jamal. 2005. Revolusi Sosial Islam; Dekonstruksi Jihad dalam Islam. Terj. Kamran A. Irsyadi. Yogyakarta: Pilar Media Yogyakarta.
Almascaty, Hilmy Bakar. 2001. Panduan Jihad untuk Aktivis Gerakan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Al-Qardhawy, Yusuf. 1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna. Terj. Bustami A, Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang.
Baidhawy, Zakiyyudin. 2012. Konsep Jihad dan Mujahid Damai. Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia.
Saidan. 2011. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam antara Hasan al-Banna dan Mohammad Natsir. Kementrian Agama RI.
Yamamah, Ansari. 2016. Evolusi Jihad; Konsep dan Gerakan. Medan: Perdana Publishing.
Yasir, Ali. 2005. Jihad Masa Kini. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.




[1] Jamal Albana. Revolusi Sosial Islam; Dekonstruksi Jihad dalam Islam. Terj. Kamran A. Irsyadi. 2005. Yogyakarta: Pilar Media Yogyakrta. Hlm., v.
[2] Ulil Abshar & Abdalla. "Terorisme dan Soal Ketidakadilan, Catatan untuk Magda Safrina" Dalam Humaniush (November. II). Hlm 18.
[3] Jamal Albana. Revolusi Sosial Islam; Dekonstruksi Jihad dalam Islam. Terj. Kamran A. Irsyadi. 2005. Hlm., vi.
[4] Ansari Yamamah. Evolusi Jihad; Konsep dan Gerakan. 2016. Medan: Perdana Publishing. Hlm., 93.
[5] Ali Yasir. Jihad Masa Kini. 2005. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah. Hlm., 14.
[6] Jamal Albana. Revolusi Sosial Islam; Dekonstruksi Jihad dalam Islam. Terj. Kamran A. Irsyadi. Hlm., 193-194.
[7] Ali Yasir. Jihad Masa Kini. Hlm., 1-2.
[8] Hilmy Bakar Almascaty. Panduan Jihad untuk Aktivis Gerakan Islam. 2001. Jakarta: Gema Insani Press. Hlm., 33-34.
[9] Jamal Albana. Revolusi Sosial Islam; Dekonstruksi Jihad dalam Islam. Terj. Kamran A. Irsyadi. Hlm., 222-224.
[10] Jamal Albana. Revolusi Sosial Islam; Dekonstruksi Jihad dalam Islam. Terj. Kamran A. Irsyadi. Hlm.,
[11] Zakiyyudin Baidhawy. Konsep Jihad dan Mujahid Damai. 2012. Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia. Hlm., 95-96.
[12] Ansari Yamamah. Evolusi Jihad; Konsep dan Gerakan. Hlm., 205-206.
[13] Jamal Albana. Revolusi Sosial Islam; Dekonstruksi Jihad dalam Islam. Terj. Kamran A. Irsyadi. Hlm.,3.
[14] Yusuf al-Qardhawy. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna. Terj. Bustami A, Gani dan Zainal Abidin Ahmad. 1980. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm., 62.
[15] Saidan. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam antara Hasan al-Banna dan Mohammad Natsir. 2011. Kementrian Agama RI. Hlm., 198-202.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harris J - Worth It (lirik & arti)

Waktu

Lalai